Seputar Kisah dan Resep Menghafal Al-Qur’an

 

Kisah Penghafal Revisi

Cover Kisah Penghafal Al-Qur’an, Disertai Resep Menghafal Al-Qur’an dari Para Pakar

Identitas Buku
JUDUL :Kisah Penghafal al-Qur'an, Disertai Resep Menghafal dari Para Pakar
CETAKAN : I, September 2015
PENERBIT : Quanta-Elexmedia, Jakarta
TEBAL: xxvi + 146 halaman
UKURAN: 15 cm
ISBN:  978-602-02-7268-9

Sinopsis: Harus diakui saat awal-awal menjadi penghafal al-Quran, penulis selalu dibayang-bayangi oleh keraguan akut dan disergap rasa pesimis. Ada secuil pertanyaan ganjil yang menyerbu otak penulis, “Apakah aku sanggup merampungkan seluruh hafalan al-Qur’an setebal itu?” Namun, berkat usaha yang tak kenal lelah serta diimbangi dengan doa, akhirnya penulis diberi anugerah Allah sehingga mampu merampungkan hafalan al-Qur’an.

Menghafal Al-Quran adalah salah satu di antara sekian banyak ibadah yang paling dicintai oleh Allah SWT. Menjadi penghafal Al-Quran adalah salah satu jalan untuk menjadi keluarga istimewa Allah. Untuk meraih predikat itu, tentulah tidak mudah. Perlu perjuangan ekstra keras, ketekunan, dan manajemen waktu yang teratur.

Buku berjudul Kisah Penghafal Al-Qur’an karya Ammar Machmud ini menjelaskan bahwa sebelum mulai menghafal Al-Qur’an, dibutuhkan niat kuat dan tujuan yang jelas. Pasalnya, niat adalah inti dari segala amal perbuatan. Jangan sampai seorang penghafal al-Quran memiliki niat yang salah. Jangan sampai pula menghafal Al-Qur’an karena terpaksa. Namun, kalaupun memang karena terpaksa, hendaknya keterpaksaan itu bisa menjadikannya ke arah hidup yang lebih baik bagi dirinya.

Dalam proses menghafal Al-Quran, dibutuhkan guru yang cakap dan sudah teruji kualitas serta kredibilitas bacaan dan hafalannya. Ini adalah syarat wajib dan mutlak alias tak bisa ditawar. Guru akan membimbing kita saat kita menyetorkan hafalan Al-Qur’an padanya.

Dalam buku ini, Ammar banyak berkisah ihwal perjuangannya yang ‘berdarah-darah’ dalam proses menghafal Al-Qur’an. Pelbagai rintangan menghampirinya. Hampir saja dia putus asa dan akan menghentikan proses menghafal itu. Namun setelah melakukan permenungan ia akhirnya memilih tetap setia, sebagaimana niat awal. Rintangan yang menghadangnya antara lain: keterbatasan biaya, keterbatasan waktu, anggapan miring dari sebagian teman, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kini, setelah Ammar ‘selesai’ menghafal bukan berarti proses perjuangannya selesai.Sama sekali tidak. Ammar menyebut, ia wajib untuk terus menjaga hafalannya. Agar hafalannya tidak hilang. Proses menjaga hafalan ini butuh perjuangan yang super ekstra juga.

Buku ini memang lebih fokus pada Kisah Ammar dalam proses menghafal al-Quran. Dari awal sampai dia berhasil mengkhatamkannya. Namun, menurut Ammar, sejatinya sebagian kisahnya dalam menghafal hampir sama, atau bahkan sama, dengan kisah dari para penghafal Al-Qur’an lainnya.

Buku ini tentu saja dapat menjadi semacam “teman” bagi mereka yang punya niat untuk menghafal Al-Quran tapi tidak tahu cara memulainya. Pasalnya, buku di buku ini Ammar juga menuliskan metode dan resep untuk menghafal Al-Quran dari para pakar.

Bagi yang ingin tahu kisah Ammar lebih detil, terutama mengenai metode-motode yangdigunakannya untuk menghafal, bisa menghubunginya via SMS/WA di nomor 08574025908.Atau bisa lewat akun facebook: Ammar Machmud. (Red-A3).

LINK: https://www.progresifnews.com/2016/02/08/seputar-kisah-dan-resep-menghafal-al-quran/

Resep Hidup Sehat ala Nabi

DIMUAT MAJALAH TEBUIRENG Edisi 37/Maret-April 2015cover-hidup-sehat-ala-rasulullah
Judul Buku : Hidup Sehat ala Rasulullah
Penulis : dr. Zaidul Akbar
Penerbit : Mizania, Bandung
Cetakan : I, Februari 2014
Tebal : 184 halaman

Hidup di zaman modern menyebabkan manusia terbiasa berbuat segala sesuatu serbagampang dan instan. Imbasnya, budaya dan gaya hidup manusia pun akan berubah. Jika budaya yang dikembangkan itu positif maka akan melahirkan manusia bergaya hidup positif. Namun, jika budaya yang dikembangkan negatif, maka sudah pasti gaya hidupnya juga menjadi negatif.

Gaya hidup manusia modern yang serba instan dan enggan mengikuti anjuran agama (Islam) biasanya akan melahirkan manusia karatan; masih muda sudah keriput, mudah terserang penyakit, gampang capai, serta berumur pendek. Nah, agar kita sebagai Muslim tidak tertular gaya hidup karatan, maka kita harus bisa membentengi diri kita sendiri dengan selalu membiasakan berbuat hal positif. Salah satu sikap membiasakan hal positif adalah menjaga kesehatan.

Jauh sebelum ada dokter atau pakar kesehatan yang piawai mendiagnosa beragam penyakit, Nabi Muhammad Saw. adalah sosok pakar kesehatan yang tiada duanya. Karena beliau adalah orang yang sudah terbukti sehat dan tidak pernah menderita penyakit berat kecuali hanya dua kali saat menjelang wafatnya, yakni pertama, sakit saat diracuni oleh wanita Yahudi, dan yang kedua, saat beliau akan meninggal dunia. (hlm: 51). Buku karya Zaidul Akbar ini ingin mengungkap gaya hidup sehat Nabi sekaligus memberitahukan bagaimana sesungguhnya pengobatan ala Nabi.

Nabi mengajarkan beberapa hal agar hidup kita selalu sehat. Sebagai tamsil, dalam cara makan misalnya, beliau selalu menggunakan tangan kanan, beliau selalu mengambil makanan yang lebih dekat dan beliau melarang meniup makanan panas. Dalam hal tidur, beliau selalu tidur miring ke kanan dan setiap tidur beliau selalu berwudu terlebih dahulu, dan lain sebagainya.

Kesehatan adalah hal niscaya bagi manusia. Kesehatan itu nikmat duniawi paling mahal bagi manusia, sebab jika seseorang sudah terkena penyakit, manusia pasti tidak nyaman hidupnya. Bahkan, orang kaya yang sakit pun sampai rela menguras hartanya untuk berobat ke sana kemari demi bisa meraih kesembuhan. Intinya, karena kesehatan adalah barang mahal maka sudah seharusnya manusia wajib mensyukurinya.

Persoalan pentingnya adalah, bagaimana jika kita sudah berusaha menjaga kesehatan semaksimal mungkin tetapi kita masih terserang penyakit? Nah, pengobatan ala Nabi (al-thibbu al- nabawi) ini adalah jawabannya. Di dalam pengobatan ala Nabi itu setidaknya ada dua manfaat. Pertama, tidak memiliki efek samping yang membahayakan bagi tubuh manusia, dan yang kedua, sudah ada dalil sahih dari agama yang memerintahkan secara pasti. Lantas, apa saja pengobatan ala Nabi itu?

Dalam buku ini, Zaidul memerinci setidaknya ada dua macam cara pengobatan yang biasa dilakukan Nabi. Yakni; bekam dan madu. Bekam dijadikan Nabi sebagai cara mengobati pasiennya karena di dalam proses membekam itu ternyata memiliki manfaat yang dahsyat, yakni; ketika seseorang dilukai pada bagian tubuh tertentu, maka secara otomatis tubuh akan mengalami beberapa kondisi yang dikenal dengan respon peradangan yang terdiri dari panas, sakit, bengkak, dan gangguan fungsi lainnya. Dari reaksi peradangan itu, maka otomatis tubuh akan mengalami peningkatan sistem imun sehingga kekebalan tubuh seseorang juga akan meningkat (hlm: 147-148). Bekam ini sangat cocok bagi seseorang yang terserang penyakit ringan, seperti masuk angin dan lainnya, maupun penyakit berat, seperti kanker.

Sementara madu adalah obat multifungsi yang bisa menyembuhkan beragam penyakit atas izin Allah. Madu memiliki beragam khasiat seperti, bisa mengobati sariawan, sesak napas, batuk-batuk, sakit pencernaan, dan lain sebagainya. Selain diminum, madu juga bisa dioleskan untuk mengobati penyakit kulit seperti borok dan bisul. Alhasil, madu adalah obat mujarab yang sudah diakui khasiatnya baik dalam ajaran Islam maupun secara medis.

Sampai di sini, sudahkah kita sebagai Muslim meniru gaya hidup sehat dan cara pengobatan ala Nabi? Jika belum, sebaiknya janganlah kita terburu-buru mengklaim sebagai pengikut Nabi dan umat Nabi jika kita belum melaksanakan apa yang pernah Nabi lakukan! Sebab, sejatinya Nabi itu tidak suka pada umatnya yang banyak omong kosong tetapi nol dalam pelaksanaan. Buku ini adalah resep konkrit bagi umat Muslim dalam meniru gaya hidup sehat ala Nabi.
AMMAR MACHMUD, guru SMP Berbasis Pesantren Amanatul Ummah, Pacet Mojokerto

Menemani Tuhan yang Kesepian

TUHAN YANG KESEPIAN

Judul Buku     : Tuhan yang Kesepian
Penulis          : Tasirun Sulaiman
Penerbit         : Bunyan (lini Bentang Pustaka), Yogyakarta
Cetakan          : I, Mei 2013
Tebal             : xii + 204 halaman

Manusia sebagai makhluk Tuhan paling sempurna terkadang menjadi kurang ajar karena telah melalaikan-Nya. Manusia seringkali melupakan Tuhan di saat dalam kondisi keberlimpahan. Jika Tuhan sudah dilalaikan, Tuhan pun kesepian. Tuhan menjadi terasing di tengah keramaian. Bukankah kita sebagai makhluk-Nya seharusnya ‘menemani-Nya’ setiap saat agar Dia tidak kesepian?

Bertuhan atau tidak memang hak prerogatif manusia. Seandainya semua manusia di seluruh muka bumi ini ateis sekalipun, Tuhan tidak merasa dirugikan. Karena itu berarti Tuhan tidak perlu repot-repot membuat surge atau neraka. Tapi persoalannya, buat apa Tuhan menciptakan manusia jika Dia tidak ada yang menyembah?

Diakui atau tidak, manusia modern saat ini cenderung suka berpikir hal-hal yang praktis, instan, dan easy going. Mereka tak ingin berpikir kreatif bagaimana caranya saya dapat ‘menemukan’ Tuhan dan membahagiakan-Nya, tapi justru yang dipikirnya adalah sebaliknya, “yang penting saya ada, titik! Soal siapa atau apa yang membuat saya ada itu tidak penting!”. Paradigma semacam ini tentu dapat merusak hubungan vertikal antara Tuhan dengan manusia.

Lewat buku bertajuk Tuhan yang kesepian ini, Tasirun Sulaiman menggiring pembacanya untuk merenungi setiap jengkal cara berpikir manusia yang seringkali salah-kaprah dan berimbas pada ‘kebodohan’ sikap manusia. Ada banyak tulisan inspiratif sarat makna dalam buku ini yang mampu menggetarkan kalbu.

Dalam judul Malu misalnya. “Malu adalah sebagian dari iman, Malu adalah jiwa dan inti beragama. Jadi, orang yang tidak punya malu adalah orang yang tidak beragama”. Hampir mayoritas muslim di Indonesia pasti tahu ungkapan ini. Tapi, realitanya tak banyak muslim yang tahu hakikat makna malu sebenarnya.

Di negara tercinta yang mayoritas penduduknya muslim ini, malu ternyata sudah menjadi barang langka. Lihat saja, tingkah-polah politisi muslim nyaris sama dengan politisi sekuler. Para anggota dewan tak beda dengan anak-anak TK yang sering bertengkar dengan sesama temannya sendiri saat sidang, para birokrat gemar menilap uang rakyat dengan dalih menyuarakan “suara rakyat”. Bahkan, para ustadz ‘kacangan’ pun terkadang ikut-ikutan lebay dan alay laiknya selebritis. Jika sudah begitu, apakah Tuhan yang harus dipersalahkan? Tidak! Manusianya sendiri lah yang seharusnya berintrospeksi.

Selain itu, ada juga tulisan berjudul Kesepian yang menginspirasi judul buku ini. Judul ini mendedah ihwal Tuhan yang kesepian. Tuhan merasa kesepian karena manusia lebih cenderung mengabaikan-Nya dibanding membutuhkan-Nya. Jika pun manusia membutuhkan Tuhan, itupun hanya kadang-kadang atau sewaktu-waktu saja. Sebab, manusia modern sudah mengambil alih kekuasaan Tuhan.

Di tangan manusia modern, segala takdir dan nasib sepenuhnya ada dalam genggaman manusia. Bagi mereka, Tuhan tak lebih seharga kosmetik sebagai penghias hidup belaka. Intinya, Tuhan ada atau tidak, manusia acuh tak acuh. Terpenting baginya, hanyalah menikmati kehidupan di dunia ini sepuas-puasnya. Akhirat urusan nanti! Sungguh potret manusia semacam inilah yang disebut dalam Al-Quran sebagai manusia bodoh, sombong, lagi angkuh yang kelak akan menerima siksaNya yang sangat pedih.

Pencarian Tuhan

Pencarian Tuhan memang tidak mudah, apalagi mengimani eksistensi-Nya. Kita tentu tahu kisah Nabi Ibrahim AS yang berkali-kali khilaf dalam ‘memilih’ Tuhan. Ia pernah melihat rembulan, bintang, dan matahari yang ia anggap sebagai Tuhan karena mampu menyinari bumi. Tapi, nyatanya ketiganya tak mampu bertahan lama, karena ketiganya terbatas. Ketiganya terbenam. Dan Ibrahim a.s. sungguh tidak suka pada ‘tuhan’ yang terbenam. Setelah pencariannya yang tak kenal lelah, akhirnya Ibrahim menemukan Tuhan yang sebenarnya. Yakni Dia yang menciptakan langit, bumi beserta seluruh isinya, yakni Allah. Kisah ini diabadikan dalam QS. Al-An’am: 76-79.

Seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan modern dan teknologi, lahirlah manusia bernama Nietzche dan Sartre yang berkesimpulan bahwa Tuhan itu telah mati! (God is dead). Kalimat itu dikreasinya tentu bukan tanpa sebab. Menurut keduanya, Tuhan itu memang pernah mati dan hidup, lalu hidup dan mati berulang-ulang dalam otak dan pikiran manusia. Bagi keduanya, Tuhan itu tidak lebih hanyalah sebuah konsepsi tentang Dia yang Berada di Sana (hlm: 168). Jadi, bagi mereka Tuhan itu tak berwujud.

Namun, bagi kita sebagai satu-satunya makhluk yang sempurna, kita tentu sulit—untuk tak mengatakan mustahil— menerima pemikiran kedua filsuf itu. Sudah semestinya, kita harus ‘menemani-Nya’ saat Dia berada dalam kesepian. Karena hanya dengan menemani-Nya, itu berarti kita sadar diri bahwa kita adalah makhluk lemah yang tak berdaya yang membutuhkan pertolongan-Nya. Cara terbaik ‘menemani’ Tuhan adalah dengan selalu mengikuti apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya (takwa). Hanya dengan menemani-Nya, Tuhan akan senang dan mau mengabulkan segala apa yang kita minta.

Kehadiran buku ini bukan sekadar kritik untuk mengingatkan umat manusia yang terkadang masih cenderung ‘latah’ dalam beragama. Tapi lebih dari itu, penulisnya ingin mengajak mereka merenungi sekaligus memahami arti sebuah keberbedaan agar nantinya bisa tercipta masyarakat yang toleran dan saling memahami satu sama lain.

Ammar Machmud, pecinta buku. 
Dimuat di Majalah TEBUIRENG, Jombang